KULON PROGO, KOMPAS.com - Perajin keripik slondok di Dusun Demangan, Banjarharjo, Kalibawang, Kulon Progo, DIY, kesulitan meneruskan usaha. Tidak ada pemuda di dusun itu yang bersedia menggantikan mereka, sehingga camilan khas Kulon Progo itu terancam punah. "Pemuda di dusun ini lebih suka pergi ke kota dan bekerja di kantor. Anak-anak saya juga begitu," kata Muhadi (65), perajin keripik slondok yang masih tersisa di Demangan, Sabtu (5/12). Usaha pembuatan slondok di Demangan sudah berlangsung sejak zaman perjuangan kemerdekaan, sekitar tahun 1940-an. Menurut Muhadi, saat itu semua warga menjadikan slondok sebagai sumber penghasilan utama. Namun, saat ini jumlahnya berkurang menjadi hanya sekitar 10 kepala keluarga saja. Nyonya Nur Kholis (70), perajin slondok lain, mengatakan banyak rekan seprofesinya tutup usia tanpa sempat meneruskan kemampuan membuat slondok kepada generasi muda. "Sebenarnya kami mau untuk mengajari, tapi mereka (pemuda) yang tidak menolak," katanya. Nur menduga pemuda enggan membuat slondok karena prosesnya pembuatannya lama dan agak menjijikkan. Slondok berbahan baku singkong mentah. Setelah dicuci bersih, singkong direbus hingga setengah masak, kemudian diangin-anginkan selama beberapa jam. Sambil menunggu agak dingin, singkong dipisahkan dari sumbunya. "Saat didinginkan ini biasanya singkong mengeluarkan aroma yang kurang sedap, seperti tengik. Ini yang tidak disukai oleh pemuda," kata Muhadi. Singkong rebus yang sudah dingin kemudian digiling dalam alat khusus dan dicampur bumbu agar gurih. Singkong giling kemudian dibentuk lingkaran kecil-kecil seperti cincin dan dijemur satu hari penuh agar benar-benar kering. Setelah itu, barulah slondok digoreng hingga renyah. Slondok produksi warga Demangan dijual ke Wates, Kulon Progo, dan Magelang serta Purworejo, Jawa Tengah. Satu kilogram slondok dijual Rp 6.500 sampai Rp 7.000, tergantung kualitas. Di usianya yang sudah lanjut, Muhadi dan Nur khawatir usaha pembuatan slondok akan berhenti seiring berakhirnya masa hidup mereka. Padahal, slondok tidak sekadar makanan ringan, melainkan juga warisan budaya agraris nenek moyang mereka. "Sedih juga kalau melihat anak cucu saya sampai tidak kenal dengan slondok, padahal kakek-nenek dan simbah mereka adalah pembuat slondok," kaya Nur. Bupati Kulon Progo Toyo Santoso Dipo pernah berkomitmen untuk melindungi pangan lokal. Langkah itu ia wujudkan dalam kebijakan penyajian hidangan di lingkup kantor pemerintah dan acara resmi. Makanan tradisional seperti geblek, kacang rebus, ubi rebus, dan slondok wajib disajikan. Namun, kebijakan itu belum menyentuh soal penjaminan kelangsungan usaha makanan tradisional.
Keripik Slondok Terancam Punah
Labels:
Berita
0 komentar:
Posting Komentar